Rabu, 11 Agustus 2010

Tarawih: The Special One in Ramadhan (part one)



Kali ini, kita bahas beberapa amalan sunnah di bulan Ramadan yuks. Mumpung lagi ramadan, ajang memperbaiki dan memperbanyak ibadah sebagai upaya lebih dekat pada Allah (taqarrub ilallah). Mumpung pahala lagi diobral sama Allah, kita keruk keuntungan bulan berlipat pahala ini. Mumpung-mumpung-mumpung... Yuk, ah kita bahas satu-satu ibadah-ibadah dan amalan-amalan Ramadan... :)

Salah satu amalan sunnah yang hanya ada di malam-malam bulan Ramadan adalah shalat tarawih. Beberapa kawan sering salah sangka bahwa yang namanya sunnah, ya hanya sunnah—nggak jadi prioritas utama untuk dikerjakan. Toh, hanya sunnah; dikerjakan dapat bonus pahala kalau ditinggal ya nggak masalah apalagi berdosa. Pemikiran ini jugalah yang akhirnya menyebabkan sebagian kaum muslim—termasuk kawan-kawan saya—lebih mengejar acara-acara buka bersama sampai jelang sahur (ada loh, salah seorang kawan pernah cerita soal acara buka bersama yang berlangsung sampai jelang sahur, ngapain aja tuh?? He...).

Boro-boro mau qiyamullail (tahajud, hajat, atau shalat sunnah tasbih) dan tadarus, tarawih yang keliatan semarak di Indonesia karena banyak dilaksanakan secara berjamaah di masjid-masjid aja dilewatkan begitu saja. Padahal, selain karena amalan sunnah bisa melengkapi amalan wajib dan di bulan Ramadan Allah memberikan pahala untuk ’amalan-a’amalan sunnah sebanding dengan pahala ’amalan-’amalan wajib, the special thing yang terkandung dalam amalan shalat tarawih di bulann Ramadhana ini punya banyak keistimewaan, seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya:

’An Ali ibn abi thalib radiyallahu ’anhu, annahu qaala; suilan nabiyyu shallallahu ’alaihi wa sallama ’an fadhaailat taraawiihi fii syahri ramadhaann, fa qaala (Diriwayatkan dari sayyidina Ali bin Abi Thalib bahwasanya ia berkata: nabi Saw pernah ditanya tentang keutamaan-keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadhan, maka beliau bersabda:)

1. Yakhrujul mu’minu min dzanbihi fii awwali lailatin kayaumin waladathu ummuhu;
Di malam pertama, dosa seorang mukmin keluar laksana anak yang baru dilahirkan ibunya;

2. Wa fi lailatits tsaniyah, yaghfiru lahuu wa liabwaihi in kaanaaa mu’minain;
Dan di malam kedua, Allah Swt mengampuni baginya dosanya dan dosa kedua orangtuanya apabila keduanya beriman;

3. Wa fi lailatits tslitsati, yunaadii malakun min tahtil ’arsyi ista’niful ’amala ghafarallahu maa taqaddama min dzanbika;
Dan pada malam ketiga, menyeru malaikat dari bawah ’arsy; ”mulailah kalian beramal! maka Allah ampuni dosa kalian yang telah lalu”;

4. Wa fi lailatir rabi’ah, lahuu minal ajri mitslu qiradatit taurati wal injiili waz zabuuri wal furqaani;
Dan di malam keempat, baginyalah pahala seperti pahala membaca kitab taurat, injil, zabur, dan al furqaan (al-Quran);

5. Wa fi lailatil khaamisah, a’thahullahu ta’aala mitslu man shalla fil masaajidil haraami wa masaajiidil madiinati wal masaajidil aqsha;
Dan di malam kelima, Allah telah memberi baginya pahala seperti orang yang shalat di masjidil Haram, masjidin nabawiyyah, dan masjidil aqsha;

6. Wa fi lailatis sadisah, a’thaahullahu tsawaba man thaafa bil baitil ma’muuri wa yastaghfiru lahu kullu hajarin wa madrin;
Dan pada malam keenam, Allah Ta’ala berikan baginya pahala seperti malaikat berthawaf di Baitul Ma’Mur (yang ada di langit) dan setiap batu dan kerikil akan memohonkan ampun baginya;

7. Wa fi lailatis sabi’ah, fakaannamaa adraka muusa ’alaihis salamu wa nasharahu ’ala fir’auna wa haamaan;
Dan di malam ketujuh, seolah-olah dia sampai/berjumpa dengan Nabi Musa As dan Nabi Musa As menolongnya dari siksa Fir’aun dan Hamman;

8. Wa fi lailatits tsaaminah, a’thaahullahu ta’aala maa a’thaa ibraahiima ’alaihis salaam;
Dan di malam kedelapan, Allah ta’ala berikan pahala sebagaimana pahala yang pernah diberikan kepada nabi Ibrahim As.;

9. Wa fi lailatit taasi’ah, fa kaannamaa ’abdallahu ta’aala ’ibaadatan nabiyyi ’alaihish shalaatu wassalaam;
Dan di malam kesembilan, seolah-olah dia beribadah kepada Allah ta’ala sebagaimana ibadahnya Nabi (Muhammad) Saw.;

10. Wa fi lailatil ’aasyirah, yarzukuhullahu ta’aala khairad dunyaa wal aakhirah;
Dan di malam kesepuluh, Allah limpahkan baginya rezeki kebaikan dunia-akhirat;

*to be continued...

Ramadan dan Celotehan Mereka



Memasuki bulan Ramadan, murid-murid saya juga antusias untuk menyambutnya dengan penuh ekspresi. Haykal, misalnya. Kemarin ia menunjukkan baju koko dan peci baru yang akan dikenakannya malam nanti saat tarawih dan tarawih-tarawih selanjutnya. Kemudian ada juga Enggar dengan style rambut barunya (baru dicukur ceritanya). Katanya sih mamahnya yang nyuruh dia "bersih-bersih" saat ramadan tiba. Dua adik kakak; Arsyi dan Akke, meski nggak secara khusus mempersiapkan ramadan kayak Haykal dan Enggar, tapi mereka--yang memang lebih pendiam dari dua anak murid saya yang lainnya, bisa dibilang senang dengan hadirnya ramadan tahun ini.

Kemarin, sebelum memasuki bulan ramadan, saya menanyai mereka satu per satu tentang ramadan yang ada dalam benak mereka. Ngobrol bareng murid-murid di sela aktivitas belajar emang kebiasaan buruk saya, tapi mengasyikkan. He.. Dan,,, taraa… selalu ada keajaiban dari celotehan kecil mereka, termasuk ketika mereka dihadapkan pada satu masa bernama r-a-m-a-d-a-n.

Celotehan Haykal

Karena Haykal cenderung aktif. Sangat aktif, malahan. Celotehannya tentang ramadan seperti geraknya yang aktif. Saking aktifnya, saya nggak bisa menangkap apapun dari celotehannya… J Tapi ada yang menarik dari celotehannya tentang ramadan tahun ini.

Katanya; "Aku sebenernya nggak suka puasa tahun ini."

What?

Aku sempat kaget mendengar curhatan mendadaknya. Kenapa? karena Haykal-lah muridku yang paling cerewet tentang Ramadan tahun ini. Maklum, dia udah mulai belajar puasa saat masih umur 3 tahun. Nah, detik-detik menjelang Ramadan, persiapannya makin kentara. Haykal sering mengulang-ulang rencana berpuasanya satu hari full di ramadan tahun ini. Setiap hari, sejak sebulan lalu! Alamak!

Nah, ketika dia tiba-tiba dan seakan “mundur” dari gegap gempita yang selama ini dia gaungkan, saya mikir seribu kali, kenapa? Why? Eng-ing-eng… ternyata setelah saya tanyakan hal ini kepadanya, Haykal—dengan mimiknya yang imut dan ekspresi innocentnya yang ngegemesin—bilang gini; "Puasanya kenapa harus bulan Agustus sih? Kan tahun ini jadi nggak bisa agustusan,,,!!!”

Oalah… masih ingat juga dia soal Agustusan. Ya, akhirnya di akhir pertemuan kami kemarin, ia bercerita panjang lebar soal niatnya memenangkan sejumlah lomba di event 17 Agustusan—yang biasa ia ikuti baik di sekolah atau lingkungan rumahnya—yang terancam pupus karena puasa yang tahun ini memang jatuh di bulan kemerdekaan kami.

Well, walaupun agak nggak konsisten, tapi Haykal mengaku doi tetap semangat menyambut Ramadan.

“Aku tetep mau puasa sebulan full lah…!!!” J

Dan diam-diam saya terpikir untuk membuat kejutan Agustusan buat Haykal…. Tunggu ya, Haykal! J


Celotehan Enggar

Enggar is the active one. Sama aktifnya kayak si Haykal. Bedanya, si Enggar jauuuuuuuuuuh lebih kritis dari Haykal—cerewet juga. Apa aja dia komentari. Ditanya, sampai detil! Bahkan baju kita yang nggak macthing bisa dia komentarin habis-habisan. Dan urusannya bisa jadi panjang. Hihi... *pengalaman pribadi*

Soal ramadan, ada pertanyaan menarik darinya; "lebih bagusan mana? puasa atau shalat? aku kalo lagi puasa pengennya tidur terus, jadinya kadang mau bangun buat solat aja susahnya minta ampun."

Nah loh... saya sebenarnya punya jawaban soal ini. Tapi teringat bahwa orang yang di hadapan saya adalah Enggar, di mana darinya pertanyaan bisa punya papa-mama, kakak-adik, oma-opa, saya kudu ati-ati bener cari padanan jawaban yang bukan sekadar memuaskan rasa penasarannya, tapi juga benar secara syari. Bukan sekadar bisa dijawab, tapi harus menggunakan analogi yang bikin Enggar ngerti. Dan, belum sempat saya menjawab, ia bertanya kembali; “Kalo zakat fitrah itu harus makanan pokok yang kita makan ya, Miss? Anak kecil juga udah harus zakat ya? Uangnya dari mana? Terus berartoi zakatnya ASI atau Promina dong?”

Hwaaah… Enggar oh Enggar tenyata kau anak yang cerdas ya, boi!!!! J

Celotehan Akke

Kadang masih suka bingung bagaimana cara ngedeketin si Akke yang pendiam abis. Responnya kalau ditanya paling-paling cuma senyum atau diam. Kalaupun harus berbicara, ia cuma berbicara sepaatah dua patah kata. "Ya," atau "tidak," atau "paham," atau "nggak tahu," itu saja. Selebihnya nggak ada kosakata lain yang pernah kudengar. Meski usianya sama kayak Haykal dan Enggar, tapi menurutku perkembangan Akke jauh di bawah mereka berdua. Awalnya, melihat kondisi Akke yang seperti itu, saya cuma takut kalau Akke--meski sudah les--mengalami kesulitan belajar di sekolah. Kecerdasan interpersonal dan intrapersonalnya masih harus dioptimalkan—banget.

Saat ini saya sendiri masih mencari-cari celah untuk mengoptimalkan tugas perkembangannya yang lain (bukan sekadar perkembangan intelektualnya). Saya coba cari-cari keberminatan anak ini,tapi belum ketemu. Dan hampir dua bulan ini saya juga belum bisa melihat keberminatan Akke dalam bidang dan sesuatu yang mana. Hm, well apapun itu, sebenarnya Akke juga punya daya tarik tersendiri. Minimal, senyumnya itu. Kayaknya setiap senyum anak-anak emang punya daya tarik tersendiri.

Nah, kemarin, ketika saya tanya tentang apakah dia mau puasa tahun ini, seperti biasa: saya cuma harus menunggu dua respon darinya; mengangguk atau menggeleng. Dan benar saja, ia hanya mengangguk. Tapi sesaat kemudian, dengan terbata-bata dan hampir tak terdengar, Akke bilang begini; "mau puasa sampai poll, sampai maghrib, sebulan nggak buka-buka." Subhanallah… mungkin kata-kata itu terdengar biasa saja. Tapi yakinlah kalau kalian pernah menghadapi Akke, apa yang dikatakannya tadi memang sebuah keajaiban. Hihihi... lebay dah… Sejak dua bulan berinteraksi dengannya, itulah jumlah kata terbanyak yang pernah saya dengar darinya. Dan ekspresinya itu loh. Beda banget deh. Wih, bahagia aja liat ekspresi Akke yang demikian dan di luar kebiasaan dia. Usut punya usut, Akke bisa antusias begitu karena dijanjikan seekor kelinci oleh sang ayah.

Hm, dari sini, kayaknya saya menemukan inspirasi buat mengadakan pendekatan dengan cara lain pada Akke.

Celotehan Arsyi

Karena Arsyi adalah murid paling tua (sekarang ia kelas empat), lebih mudah membicarakan banyak hal dengan bahasa orang dewasa. Meski cenderung pemalu, sama seperti Akke, sang adik, tapi Arsyi jauh lebih ekspresif ketimbang Akke. Begitupun saat saya bertanya soal puasa padanya. Dia hanya menjawab bahwa "puasa biar nggak dosa apalagi sekarang aku udah sunat. Jadi kalo sampe nggak puasa kata bu guru di sekolah saya harus disunat dua kali”

Hwah.. meski udah lebih gede, si Arsyi masih bisa dibohongin gitu sama gurunya…. Hihihi….

Well, selamat puasa buat murid-murid cilikku, buat adik-adikku yang lucu-lucu… Luv U all… Ramadan Mubarok.. J

*Jelang Tarawih. Menunggu Keputusan Awal Ramadan 1431 H dari Pemerintah

Ramadan Tahun Ini (Sebuah Refleksi Pribadi)



Marhaban ya ramadan... Semoga kegembiraan menyambut ramadan tahun ini bukan sekadar larut dalam euforia semata, tapi lebih karena rasa rindu dan ketakwaan kita pada Allah Swt.

Secara pribadi, ramadan tahun ini seakan oase yang lama saya nantikan. Awal tahun 2010 ini termasuk tahun-tahun penuh cobaan.

Hwaah... bahkan pada masa-masa sulit kemarin, saya selalu berharap kalau bulan-bulan itu adalah bulan ramadan. Nggak tahu kenapa berpikir begitu. Tapi memang selalu ada atmosfer yang berbeda yang saya rasakan di bulan ini. Entah apa itu.

Mungkin karena di bulan inilah sumber segala petunjuk bagi manusia (baca: Al-Quran) diturunkan ke muka bumi melalui nabi Muhammad Saw. Mungkin juga dengan "obral" pahala yang Allah janjikan dalam bulan ini. Atau barangkali karena Allah menyisipkan malam-malam qadr yang mahadahsyat. Entah... Tapi, selalu... selalu ada yang menyebabkan saya merindukan ramadan lebih dari sekadar hal-hal di atas, dari tahun ke tahun.

Tahun ini misalnya, ah... rasanya banyak hal yang mesti saya perbaiki. Harus, bahkan! Hubungan saya dengan Allah mungkin harus saya evaluasi selama setahun lalu. Khawatir ada banyak "lemak jenuh" yang mengiringi setiap langkah 'amal saya. Saya coba menelaah hati saya lebih dalam. Karena ialah sumber dari terciptanya tingkah laku yang tampak, sikap yang mengemuka, dan ucapan yang terlisankan.

Teringat sebuah nasihat dari seorang sahabat (yang sudah kuanggap kakak dan guru); sejatinya hubungan seseorang dengan tuhannya; Allah, dan hubungannya dengan sesama manusia bisa saling menegaskan. Tahun ini, ada banyak hubungan antara saya dan sesama yang terjalin penuh dengan intrik. Kepentingan-kepentingan yang mengotori idealisme diri, cara-cara pertahanan diri yang lemah, kenaifan, kegamangan yang tak pernah bisa dipecahkan hakikatnya adalah ciri pribadi yang jauh dari sentuhan hidayahNya. jauhnya jarak antara ia dan hidayah Tuhannya barangkali karena masalah jalinan ia dan tuhannya yang tak seintim orang-orang mukmin lainnya. Dan, itulah yang amat mungkin terjadi pada diri ini.

Setiap kita memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi masa-masa sulit. Allah juga hanya menyematkan ujian bagi mereka yang dianggap mampu melewatinya. Satu masa sulit yang saya lewati kadang membuat saya berpikir bahwa mungkin benar, Allah percaya saya mampu melewatinya. Tapi sayang, saya memang just an ordinary people... amat biasa untuk bisa disandingkan dengan orang-orang beriman di sekitar saya, bahkan. Keterpurukan, tangis, kecewa, kesedihan, putus asa, yang bersanding dengan nikmatNya, hidayahNya, yangn membuat saya bisa tetep bahagia, menatap segala sesuatu dengan lebih bijak dan positif membuktikan bahwa saya memang manusia biasa, sangat biasa, dan sangat manusiawi.

Dan, besarnya kebahagian, rasa rindu ini--pada Allah dan khususnya ramadan--biarlah hanya saya dan Allah yang tahu. Mengapa? Karena kalaupun saat ini saya bersukaria menyambut tamu agung itu, semata karena saya rindu pulang. Pulang untuk mensucikan diri yang berlumur dosa. Pulang untuk menemukan kembali asa yang hampir terkoyak dengan segala bisikan nafsu setan. Pulang untuk menemukan kembali makna dirinya, hidupnya, dan kehidupan serta eksistensi dirinya di dunia ini.

So, marhaban ya ramadan.. ramadan mubarok, semoga ia tak terlewatkan dengan sia-sia. Semoga kedatangannya menebarkan kesejukan di hati orang-orang yang merindu hidayah-Nya. Semoga ramadan tahun ini akan selalu tertanam dan berbekas di 11 bulan berikutnya. Semoga... semoga... semoga... hanyalah kebaikan yang dapat kita ambil dari bulan penuh rahmat ini... Aaamiin...

Jelang ramadan yang tinggal esok, untuk semua kerabat, sanak saudara dan handai taulan serta sahabat.... mohon maaf lahir bathin. Maaf atas segala kesalahan di bulan2 lalu. Maaf atas segala khilaf yang entah menyakitimu atau tidak.. Sungguh segala kesempurnaan milik Allah dan keburukan juga kenaifan murni karena diri ini yang terlalu dhaif... Maaf, maaf, maaf...

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa, Ramadhan 1431 H...

Jumat, 06 Agustus 2010

"Demam" Gara-Gara Keong Beracun


Asli, awalnya saya nggak tertarik untuk ikut-ikutan bahas fenomena keong racun yang kebetulan jadi booming setelah adanya video lipsinc dari duo mojang Bandung; Jojo dan Shinta. Terlepas dari pro-kontra soal kehadiran video tersebut, saya bisa dikategorikan sebagai pihak yang kontra dengan ulah "media" yang mempopulerkan video narsis-narsisan tersebut (kayak nggak ada bahasan lain aja gitu). Ini bukan soal karena saya iri terhadap aksi Jojo dan Shinta. Saya toh bisa mengambil pelajaran dari mereka bahwa pesatnya kemajuan teknologi informatika saat ini, apapun bisa kita lakukan: mau beken atau apapun itu, bisa. Internet memang bisa menjadi media yang murah meriah dalam upaya memarketingkan sesuatu--apapun itu; yang nggak penting, apalagi yang penting--dengan cepat. Justin Bieber dan Jojo-Shinta udah membuktikan itu.

Tapi lepas dari itu semua, saya mulai terganggu dengan kehebohan Keong Racun. Kenapa?

Pertama, mula-mula saya risih dengan lirik yang ada di lagu itu. Kehebohan pemberitaan Keong Racun itu bikin lagu itu jadi beken. Dan, anak-anak adalah korban yang pertama kali "jatuh" dalam industri kapitalis media yang tak bertanggungjawab itu. Sudah iya saat ini anak-anak Indonesia dalam masa-masa "sekarat" karena nggak punya alternatif hiburan yang edukatif (dalam hal lagu, khususnya). Kehadiran lagu ini menambah keterpurukan kondisi anak-anak karena terpaksa harus berkali-kali mendengarkannya dari teve, dan dari orang dewasa yang mulai menyanyikannya dengan bebas dan terbuka di depan mereka.

So? Dalam masa-masa perkembangan di mana pembelajaran sosial didapatkan sang anak dari mengadopsi tingkah pola orang lain di sekitar mereka, anak segera mengasosiasikan informasi baru, bentuk sikap yang mereka dapat dari orang lain itu.

Terhadap lagu Keong Racun yang "dihebohkan" itu, anak-anak mengalami proses psikologi yang disebut dengan istilah clasical conditioning, yaitu bentuk dasar dari pembelajaran di mana satu stimulus sebenarnya berperan netral. Tapi akan memiliki kapasitas untuk membangkitkan reaksi melalui pemasangan yang berulang-ulang dengan stimulus lain. Anak-anak yang pertama kali mendengar berita soal heboh video--yang kemudian lagunya--Keong Racun nggak akan punya reaksi apapun. Kenapa? Karena keong racun ini masih netral dalam benak dan daya "cerna" reaksi mereka. Tapi karena orang-orang di sekitarnya (keluarga, tetangga, orangtua, teman, atau orang dewasa lainnya) terus-terusan menunjukkan tanda reaksi positif (dengan mulai menyanyikannya), sang anak akan belajar secara bertahap untuk bersikap positif pada lagu Keong Racun dengan turut menyanyikannya.

Apa yang terjadi? Setiap pagi di lingkungan rumah saya selalu terdengar anak-anak berlomba menyanyikan lagu beraliran dangdut koplo tersebut. Nggak sampe di situ deh, di jalan-jalan, di mall, di pasar, di warung, di sekolah, di bis, adaaa saja anak yang saya temui sedang asyik mendendangkan lagu itu. Hufff... Khawatir tingkat tinggi... Kalo orang dewasa yang nyanyi sih udah nggak heran dah, semua kayak emang udah tersihir dengan lagu itu dan seperti wajib untuk menyanyikannya biar ikut trend kali ya.

Yang lucu, karena kampus saya berada satu langit, satu pagar, dengan salah satu sekolah anak-anak elit yang berduit dan bermobil di Jakarta (baca: labschool rawamangun), saya kok masih juga nemuin anak-anak orang kaya itu nyanyi lagu Keong Racun yang kata teman saya sih lagu pinggiran (saya nggak tahu lagu tengahan atau pinggiran itu kayak gimana sebenarnya). Lucu aja, anak-anak itu rame-rame dan seakan berlomba-lomba menghafal lirik lagu itu ~tersenyum getir: *miristingkattinggi*

Itu alasan pertama.

Alasan kedua yang bikin saya kontra dengan "dihebohkannya" si Keong Beracun itu adalah karena saya jadi ikutan dibuat ribet dengan lirik lagunya.

Bukan, bukan... Bukan karena saya lagi mencoba menghafal lagu itu. Tapi justru ini datangnya dari murid-murid saya. Kemarin, setelah saya dibuat melongo dengan jawaban Haykal soal belajar bahasa Inggris, tiba-tiba dia tanya pada saya; "Bu, emang keong racun itu apa sih?"

Saya jawab; "keong yang berbahaya karena dia punya racun. Kayak ular yang punya bisa. Kalau bisa itu tertular pada manusia, manusia bisa meninggal karenanya."

Haykal tanya lagi; "Memang kalau keong racun itu kalo ngomong nggak pakai sopan santun ya? Dia binatang nakal ya?"

Saya yang mulai ngeh kalo sebenernya Haykal lagi mempertanyakan isi dari lirik lagu Keong Racun itu langsung jawab; "Ya" dengan singkat saja.

Dan, Haykal pun kembali bertanya; "Bu, emang kenapa sih kalau kita dianggap ayam kampung? Ayam kampung itu artinya kayak anjing babi gitu ya? Tapi kan ayam kampung nggak najis, terus ayam kampung juga baik, dia bisa dipelihara, dan aku suka ayam goreng. Upin Ipin aja suka ayam guring, hehehe..."

Waduh.... saya sempat mikir-mikir untuk menjawab pertanyaan ini. Sebenernya apa hubungannya ya ayam kampung dengan lagu keong racun (awalnya saya nggak tahu kalo kata-kata ayam kampung ada juga dalam lirik lagu itu, hehehe). Lama berpikir, saya cuma bilang, "hm, ayam kampung nggak najis kok. Pokoknya enak dibuat ayam guring kesukaan Ipin Upin, hehehe"

Meski nggak puas dengan jawaban saya (saya tahu ini karena si Haykal pake mendengus dan menghela nafas panjang setelah saya menjawab begitu, mungkin dia pikir kok jawabannya gitu doang), Haykal akhirnya bisa diam juga. Dia nggak tanya-tanya lagi.

Hari itu mungkin saya selamat. Tapi hari berikutnya saya terjebak pada pertanyaan serupa (tentang lirik Keong Racun) dari Enggar, murid privat saya yang lain. Sepanjang les hari itu, ia terus mengerjakan tugas-tugas yang saya berikan dengan bersenandung lagu itu, sambil sesekali mempraktikkan gaya Jojo Shinta. Asli, walau Enggar nggak kalah lucu dari Haykal, meski saya hampir pengen ketawa lihat aksinya, toh saya tetap jijay dengar dia nyanyi-nyanyi pake gaya lengkap begitu segala. Karena dia bocah laki-laki yang juga belum genap enam tahun.

Coba, anak sekecil itu tahu apa tentang bodi semok yang dia nyanyikan, tahu apa tentang jablay, kucai? Arrrgh....!!!! Saya berkali-kali menyuruhnya untuk berhenti menyanyikan lagu itu, tapi Enggar tetap bernyanyi (walaupun sebentar-sebentar dia berhenti karena saya mulai galak).

Ketika dia benar-benar berhenti, saya sebenarnya bersyukur. Tapi itu tidak lama karena Enggar kemudian bertanya; "Bu, emang kalo baru kenal kita nggak boleh ngajak tidur orang ya? Memang kenapa?"

Saya: "Karena... hm... gini... anu, Nggar... Hm, gimana ya ibu jelasin.. bla-bla-bla-bla.. zzztt pssst #@!#%*+!-%#~...."

Asli, saya yakin banget muka saya langsung pucat pasi karena sepertinya saya jadi demam tersengat racun si keong (Keong Jojo dan Shinta itu benar-benar beracun!!!)

Sumber gambar: http://img56.imageshack.us/img56/9693/keongemasbywinrymarinilk8.jpg

Rawamangun, di sela-sela mentok cari teori buat tambahan kajian teori

Kamis, 05 Agustus 2010

Let's Learn A-B-C, Haykal!



Ini tentang Haykal, salah satu murid les privat saya. Nggak ada yang spesial dari sosok Haykal. Tadinya enam bulan ke depan saya berniat untuk menolak melakukan aktivitas lain selain kuliah karena takut mengganggu fokus kuliah yang tengah memasuki masa-masa skripsi/penelitian. Tapi soal mengajar ini, hm... saya pikir nggak masuk dalam "godaan" yang membahayakan kali ya. Saya kangen mengajar, bercengkerama dengan anak-anak, dan bergelut dengan kesibukan. He...

Oke, back to Haykal. Kalau tadi saya bilang soal Haykal yang nggak spesial, memang begitu adanya. Kalaupun ada, saya suka senyumnya yang manis karena lesung di pipinya. Hahaha... (pedofili nih, hush!). Haykal bukan bocah yang pandai, tapi dia juga nggak lemot dan bodoh. Sama seperti anak seusianya, yang paling menonjol darinya adalah main. Ia anak yang aktif untuk... BERMAIN!!!

Mungkin keaktifan bermainnya sesuai dengan karakter anak seusianya yang belum genap enam tahun (5 tahun sembilan bulan). Konsentrasinya amat pendek. Paling cuma lima-sepuluh menit. Ia berminat pada semua hal yang saya ajarkan selama sepuluh menit saja, wiiiih.... senangnya minta ampun. Dan, untuk itu semua, saya nggak ingin memaksanya untuk bisa berlama-lama dengan pelajaran.

Biasanya, saya akan banyak bawa mainan untuk menarik perhatiannya pada pelajaran yang saya bawakan. Ketika pelajaran berhitung, saya harus repot-repot membawa bola warna-warni dari rumah, atau menggunakan beberapa mainannya untuk dihitung. Lumayan berhasil.

Ketika saya harus membantunya belajar membaca dan mengeja kata-kata yang sulit (untungnya dia sudah mengenal huruf dan sedikit-sedikit mengeja), saya harus membawa buku-buku penuh warna, atau balapan mengeja sambil lari-larian dengannya.

Ribet, capek, tapi lagi-lagi lumayan berhasil. Meski saya harus mencari ragam kegiatan BSB (belajar sambil bermain; bermain sambil belajar) untuk menjaga 10 menit rentang konsentrasinya yang harus tetap terjaga bahkan harus terus meningkat. Tapi di sanalah seninya. Di sana tantangan yang mengasyikkan.

Setelah sebulan berjalan, Mama Haykal kayaknya agak senang dengan perkembangan Haykal yang superaktif itu. Menurut laporan yang ia dapat dari guru Haykal di sekolah, Haykal sudah tak harus dipanggil-panggil oleh gurunya karena seringnya keluar kelas untuk bermain, atau jalan-jalan mengganggu teman sekelasnya. Hehehe, padahal sungguh, itu bukan atas usaha saya. Saya ingat, dua minggu terakhir ini Haykal sering mengeluh tentang pelajaran di sekolahnya yang sudah mulai susah. Hehehe... Jadi, mungkin saja kan kali ini Haykal sudah menemukan jatidirinya (halahh, ngaco abis). Maksudnya, barangkali ia mulai menemukan tantangan di setiap pelajaran yang mulai tak bisa dia taklukan.

Sayangnya, apa yang saya pikirkan berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan oleh sang bunda. Mama Haykal tetap mengira perubahan haykal yang sedikit itu berkat kesuksesan usaha saya. Padahal, terkadang saya lebih sering marah dan keras pada Haykal--nggak ideal deh untuk ngajar anak-anak seaktif Haykal yang seharusnya lemah lembut gitu (abis, kadang gregetan, Bu. Pisss). Nah, berdasarkan pemikiran sang Mama itulah, akhirnya ia memberikan saya tantangan yang baru. Katanya; "Bu, bisa tolong bantu Haykal untuk bisa mahir bahasa Inggris. Kalau bisa di rumah ngomong pake bahasa Inggris gitu. Hm, soalnya begini Bu, saya sedang dekat dengan pria ule bla-bla-bla..." (note: Papa Haykal meninggal saat usianya dua tahun, sang mama memang single parent yang masih muda, cantik pula).

Saya langsung terhenyak dengan alasan yang rada "lugu" dari sang bunda. Apa ya? Itu masuk kategori mengeksploitasi anak nggak sih? Hehehe... tega nian pendapat saya. Well, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya; "Tapi maaf bu, hm... apa hubungannya ya ibu yang tengah dekat dengan cowok bule dan Haykal yang harus jadi pintar bahasa Inggris? Emang yang berhubungan dengan si bule itu sebenarnya siapa ya; ibu atau Haykal? (hihi, yang terakhir saya lanjutkan dalam hati). Dan sang mama hanya menjawab dengan seburat senyum khas orang jatuh cinta... Ah, Mama....

Begitulah. Meski saya belum benar-benar tahu alasan yang jelas mengapa tiba-tiba Haykal harus pandai berbahasa Inggris, akhirnya seminggu ini saya harus extra melatihnya bercas-cis-cus dalam bahasa Inggris. Di sekolah, kurikulum kelas satu SD juga sudah memperkenalkan pelajaran bahasa Inggris, meski tak cukup intensif (seminggu hanya satu jam pelajaran). Meski demikian, tak seperti membaca dan berhitung, Haykal sepertinya tak memiliki bekal yang cukup dalam menguasai pelajaran bahasa Inggris.

Hari pertama yang saya ajarkan padanya adalah alphabets. Saya pikir, sehari itu pasti ia sudah hafal, maksimalnya tiga hari deh. Toh ia kan sudah hafal alfabet dalam pelafalan bahasa Indonesia; A-B-C-D... apa susahnya? Sayangnya, semua hipotesis saya salah. Boro-boro mengajarkannya berkenalan dalam bahasa Inggris, menyebutkan huruf-huruf dengan lafal Inggris saja ia masih tak bisa. Bahkan sampai tepat di hari ke delapan ia belajar bahasa Inggris, siang tadi (jatah lesnya tiga kali seminggu), ia masih belum bisa melafalkan abjad-abjad dengan tepat. Ia tetap menyanyikan lagu A-B-C-D dengan lafal a-be-ce-de bukannya dengan lafal ei-bi-si-di.
Berbagai cara sudah saya coba tempuh. Dengan CD interaktif yang saya miliki, atau learning English dari tokoh-tokoh kartun kayak Barney, dan tokoh kartun favoritnya; Ben 10. Buku-buku panduan belajar membaca dengan bahasa Inggris aneka gambar dan warna tak juga menarik perhatiannya. Kartu-kartu abjad juga. Sampai akhirnya saya curiga sendiri, kayaknya Haykal nggak sebodoh itu deh.

Saat saya sudah di ambang kemampuan untuk menahan gemas pada Haykal, saya akhirnya bertanya pada Haykal (dengan bahasa Inggris tentunya); "Let's Learn A-B-C, Haykal!" Ajakan saya lebih terdengar seperti erangan kegemasan yang memuncak pada seorang bocah berusia lima tahun sembilan bulan yang berlesung pipi. Tapi, saya terkaget-kaget dengan jawaban Haykal. Katanya dengan mantab; "No Way!!!"
OMG... saya menyadari satu hal; Haykal bukannya nggak bisa mengucapkan abjad-abjad dalam bahasa Inggris. Ia juga bukannya tak mampu menyerap pelajaran bahasa Inggris , tapi dia TIDAK MAU!!!

Dan, ketika saya tanya "what is your name?" padanya, ia keceplosan menjawab; "Muhammad Haykal Hanugrah!" Lunturlah semua sakwasangka saya soal kemampuannya dalam bahasa Inggris, Ya, saya tahu sekarang; Haykal hanya tidak mau mempelajarinya. Just it! Tapi kenapa?

"Karena aku nggak mau jadi orang bule, apalagi punya papa bule!"
Saya: @$%^***^##@**%!=+-0*&#@#*^%$!!!!!! (sambil melongo sejadi-jadinya)

Rabu, 04 Agustus 2010

Pembelajaran VS Pengajaran, What Different?


Ketika memutuskan untuk masuk dalam fakultas ilmu pendidikan, saya nggak begitu peduli dengan macam istilah yang include atau terlanjur "nyatu" dengan ordo (bangsa) "pendidikan" ini. Pun ketika ayah-ibu saya--yang notabenenya nggak punya pendidikan tinggi--bertanya mengenai nama fakultas saya. Katanya, "mengapa fip = fakultas ilmu pendidikan, bukan fakultas ilmu pengetahuan? Biasanya ilmu itu disandingkan dengan pengetahuan, jadi seharusnya fakultas ilmu pengetahuan." Di semester awal dulu, paling-paling saya cuma jawab: "hm... udah dari sononya". Beres, menurut saya--walau mungkin tidak demikian menurut kedua orangtua saya. Cuma, saya yakin mereka memilih diam, nggak bertanya lagi--atau cenderung pasrah dengan jawaban seenak udel saya sendiri itu--sebagai cara bijak nan ampuh untuk menghadapi produk instan macam saya... :)


Mula-mula Pendidikan VS Pengetahuan
Bisa dibilang, bermula dari pertanyaan kedua orangtua saya itulah, saya mulai mempertanyakan hal sejenis. Saya menanyakan hal serupa pada dosen di awal masuk kuliah. "Itu sekadar istilah, tapi memang ada bedanya, walau sedikit". Jawabannya meski nggak terlalu singkat, tapi justru menyebabkan pertanyaan tersebut jadi beranak pinak, bercucu-cicit, dalam benak saya. Menggantung!

Well. Walau pada akhirnya saya coba merangkai jawaban sendiri (karena kebetulan dapat wangsit dari beberapa buku yang saya baca). Dan sepertinya, dosen saya salah total; karena beda antara pengetahuan dan pendidikan itu banyak banget, pak! Dan kalaupun itu istilah, keduanya bukan sekadar istilah. Keduanya punya makna yang berbeda-beda. Masing-masing berdiri sendiri membentuk makna yang jauh berbeda.

Pengetahuan dimaknai sebagai sesuatu yang mengandung kebenaran, tidak pernah salah (meski sifatnya relatif). Kalau kata si Lenzen, ilmu pengetahuan berarti pengetahuan yang sistematis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan sistem pengetahuan diperoleh dari hasil riset. Sementara pendidikan, meski sama-sama proses yang sistematis, tapi lebih punya tujuan yaitu perubahan tingkah laku. Lebih lengkapnya, pendidikan adalah serangkaian upaya sadar (jadi kalau lagi mengigau apalagi mabuk dan gila itu nggak masuk ye) yang sistematis, memiliki tujuan, untuk mempersiapkan seseorang menemukan peranannya (sebagai manusia yang manusiawi) di masa yang akan datang.

So, ada bedanya nggak antara pendidikan dan pengetahuan? Banget, kan?



Sekarang Pembelajaran VS Pengajaran
Nah, setelah menguak sedikit tentang hal yang krusial (mulai lebay.. :)) tadi, saat ini pertanyaan serupa kembali mengemuka. Ini turunan dari pertanyaan pokok tadi. Karena dalam definisi soal pendidikan yang saya tulis tadi, saya menemukan fakta bahwa dulu sekali (kira-kira tahun 1999 lalu), pemerintah bikin peraturan (PP no. 90/1999) ttg definisi pendidikan yang isinya kira-kira begini: "pendidikan merupakan usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa depan".

Dari sini, diketahui bahwa pendidikan tidak sama dengan pengajaran. Bila mengajar dibatasi pada kegiatan guru menyusun program, berinteraksi dengan murid selama satu jam pelajaran atau lebih, melaksanakan serangkaian kegiatan di kelas, dan mengadakan penilaian hasil belajar pada akhir jam pelajaran, maka kegiatan mendidik lebih terarah pada usaha seseorang untuk membantu seseorang yang lainnya yang berlangsung dalam hubungan kewibawaan dan didasarkan pada rasa kasih sayang yang terjadi di dalam lingkungan sosial tertentu untuk mencapai kedewasaan (Lengeveld dalam Filsafat Ilmu Pendidikan: Prof. Ishak AbdulHak, 2006: 11).

Artinya, kalau mengajar lebih diarahkan pada sesuatu yang mekanik, kaku, dan upaya teknis semata, maka mendidik lebih dari itu. Mendidik mengarah pada makna yang lebih
luass, global, dan lebih manusiawi.

Om Andrias Harefa dalam bukunya Menjadi manusia pembelajar, kita dijaka lebih memahami perbedaan makna "ajar" dan "didik". Menurut Andrias, gampangnya, pengajaran menyangkut soal teori, sementara pendidikan sepenuhnya soal potensi. Pengajaran itu soal belajar tentang sementara pendidikan adalah soal belajar menjadi (Andrias Harefa dalam Menjadi Manusia Pembelajar, 2000: 59).

Bagaimana dengan Pembelajaran VS Pengajaran?

Sebenarnya setelah menemukan beberapa perbedaan antara padu padan kata yang masuk dalam ordo yang sama itu, saya memahami bahwa pembelajaran lebih bersifat informal/nonformal. Kegiatannya tak baku. Bisa dilakukan di manapun, kapanpun. Karena proses mencari pengetahuan pada hakikatnya bisa dilakukan di manapun; di rumah, di alam bebas, bahkan di toilet!

Untuk belajar merangkak, seorang anak nggak perlu masuk akademi merangkak untuk bayi. CUkup belajar dari lingkungan di sekitarnya cara merangkak yang baik. Maka, wajarlah bila ada Kemala, seorang anak India yang ditemukan di sarang serigala pada tahun 1920. Diketahui bahwa ia dirawat oleh serigala sehingga tingkah lakunya menyerupai serigala; berjalan dengan menggunakan dua kaki dan dua tangan. Apa Kemala salah? dalam konsep belajar berjalan versi manusia, Kemala bisa jadi salah. Namun dalam konsep belajar, itulah hakikat belajar yang sesungguhnya. Apalagi bila kita telaah dengan prinsip-prinsip psikologi perkembangan, di mana ada masa-masa di mana seorang anak mengimitasi keadaan di sekitarnya untuk diasosiasikan menjadi sikap atau tingkah laku yang baku dalam dirinya.

Kalaulah menjadi pembelajar berarti mengoptimalkan seluruh potensi kemanusiaan kita agar berdaya, mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, merdeka, dan menjadi manusia yang manusiawi (ini istilah dari Driyakarya--red), maka proses tersebut akan berlangsung sepanjang hayat. Seumur hidup. Berbeda dengan pengajaran yang hanya ditujukan untuk membentuk konsep/teori atau memberi ilmu yang prosesnya terbatas pada jenjang-jenjang pendidikan yang terkotak-kotakkan atau terbatas pada satu tingkat tertentu; S-1, S-2, S-3, habis?.

Masalahnya sekarang, istilah pembelajaran dan pengajaran memiliki makna yang lain lagi ketika harus bersanding dengan kata-kata yang lainnya. Seperti yang baru saja saya alami ketika saya mencari perbedaan antara penggunaan kata pembelajaran dan pengajaran yang disandingkan dengan media maupun metode. Menurut salah seorang dosen, media pengajaran memang berbeda dengan media pembelajaran (begitupundengan metode pembelajaran dan metode pengajaran).

Katanya, media pembelajaran bermakna bahwa media tersebut lebih banyak melibatkan peran siswa/peserta didik dalam pemanfaatannya. Misalnya, buku sebagai media pembelajaran. Ini berarti media tersebut dimanfaatkan dan digunakan lebih banyak untuk menunjang keberhasilan belajar si siswa.

Sedangkan media pengajaran bermakna bahwa keterlibatan gurulah yang lebih banyak dalam penggunaan media tersebut. Misalnya, dengan contoh yang sama; buku sebagai media pengajaran berarti buku membantu guru dalam meningkatkan keberhasilan siswa yang diajarnya.

Penjelasan dosen saya itu sedikit mengusik benak saya untuk (lagi-lagi) memberikan pertanyaan turunan dari penjelasan ini: benarkah hanya murid yang belajar dan guru yang mengajar?

Rawamangun yang mendung

Sabtu, 15 Mei 2010

Yuk, Ngeblog

Hari gini nulis diary? Hello... Kan udah tahun 2010 gitu. Lagian zaman sekarang, dua tahun lagi menjelang kiamat (menurut ramalan suku Maya dalam film 2012 ya... hehehe), kan emang udah jamannya hemat kertas sebagai bagian dari gaya hidup gitu loh! Global warming, mannn.... Halah.

Tapi tahu nggak sih, seni menulis diary (baca: menulis sesuatu di buku harian) adalah sebuah kebiasaan baik yang nggak mandang zaman. Artinya, mau zaman Nenek Srintil makan upil (huweeekkkk.... jorki bener nih anak!) atau zaman kuda makan pizza, menulis is the best method to exercise our logic. Minimal, inilah manfaat menulis yang pernah dipaparkan oleh Joni Ariadinata (dalam Buku Sakti Menulis Fiksi, Pustaka Annida, 2004: p.11).

Masih menurut sastrawan yang aktif di majalah sastra Horison dan pernah menjadi pengasuh tetap rubrik Galeri di majalah Annida dan Annida-Online.com, menulis adalah latihan strategi. Ketika kita berhubungan dengan orangnya yang lebih tinggi, tulisan adalh salah satu cara pendekatan kita untuk bisa lebih estetik, lebih humanis. Makanya, doi juga bilang kalo menulis itu perkara sulit. Nggak semua orang bisa. Kudu cerdas dulu untuk bisa menulis bagus, kudu banyak pengetahuan dan wawasan. Nggak asal bunyi alias asbun. Butuh kejelian yang ruarrrr biasa untuk bisa menghasilkan tulisan yang baik, juga mencerahkan bagi orang lain (minimal buat diri sendiri deh!)

Duh, rumit amat ya?

Ya, menulis memang perkara sulit. Tapi hal yang sulit toh bukan berarti mustahil, bukan? Nah, butuh kerja keras, sungguh-sungguh, dan latihan yang waktunya nggak bisa tuh diukur sama gala buat ngambil jambu di puun tetangga. Alias ya, laaaaaamaaaa banget. Nggak lama-lama banget sih. Tergantung tekad, niat, dan usaha, juga doa kamu sih. Man jadda wa jada. Kalo sungguh-sungguh pasti dapat hasilnya kok.

Nah, balik ke diary atau menulis di buku catatan (asal nggak di catatan utangnya mang kredit ya...), ternyata diary bisa loh jadi media untuk latihan kita menulis tadi itu. Ngasah "pisau" eh, salah pena maksudnya biar tulisan yang masih kaku-kaku bisa diurut jadi lebih lemes, luwes, mendayu-dayu kayak lagu melayu. Halah...

Tapi, kan seperti di awal paragraf tuh, katanya haee gene (pake gaya anak gaul getoooh...) nggak musim lagi tuh menulis diary. Apalagi buat anak abege yang nggak mau dipanggil anak kecil lagi nih, pasti deh bilang kalo menulis diary tuh cuma kerjaan anak SD, minimalnya anak kecil deh. So? Kenapa nggak pindah ke blog? Zaman makin canggih, pengetahuan makin luas, media yang ditawarkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi juga kian memudahkan kita untuk melatih logika kita melalui aktivitas menulis. So, kenapa nggak coba blog sebagai ajang latihan menulismu? Apalagi, tawaran media blog jelas jauuuuuuuuuuh berbeda banget-banget dengan diary atau buku harian tadi. Mulai dari karakteristik media blog itu sendiri hingga sifatnya. Pokoknya beda deh (kayaknya kuda nil juga tau ya blog n buku harian emang beda banget.... Iyalah!!!, hehehe)

Saya sendiri udah mulai ngeblog sejak tahun 2005. Tapi jujur, saya bukan tipe blogger yang betah di satu situs atau satu domain saja. Bahkan saya udah pernah nyoba bikin account blog di hampir semua penyedia layanan blogging. Kalau dihitung-hitung mungkin saya pernah buka sampai 7 domain blog yang berbeda. Bangga gitu? Mau nyombong gitu? BUkan, bukan! Justru dari pengalaman saya ini, saya mulai mengevaluasi bahwa punya banyak account blog nggak selamanya bagus. Karena potensi untuk nggak diurus juga cukup besar. Ya, minimal, itulah yang saya alami.

So? Kalaupun saya membuka account blog terbaru ini (lagi), semata karena pengen lebih istiqomah dalam mengasah keyboard komputer saya untuk senantiasa menghasilkan tulisan yang semoga bisa mencerahkan dan media dakwah buat diri saya pribadi, syukur-syukur buat orang lain juga... :)

Soal kualitas? Hadooh, namanya juga latihan, jadi semoga di sinilah saya bisa terus mengupgrade pengetahuan, wawasan, dan kualitas tulisan saya menjadi lebih baik, baik lagiii. So, yuk ngeblog (lagi)!!! :)

Utankayu, Sabtu, 15 Mei 2010; 20:04
Menunggu tuan puteri selesai mandi... hihihi