Jumat, 06 Agustus 2010

"Demam" Gara-Gara Keong Beracun


Asli, awalnya saya nggak tertarik untuk ikut-ikutan bahas fenomena keong racun yang kebetulan jadi booming setelah adanya video lipsinc dari duo mojang Bandung; Jojo dan Shinta. Terlepas dari pro-kontra soal kehadiran video tersebut, saya bisa dikategorikan sebagai pihak yang kontra dengan ulah "media" yang mempopulerkan video narsis-narsisan tersebut (kayak nggak ada bahasan lain aja gitu). Ini bukan soal karena saya iri terhadap aksi Jojo dan Shinta. Saya toh bisa mengambil pelajaran dari mereka bahwa pesatnya kemajuan teknologi informatika saat ini, apapun bisa kita lakukan: mau beken atau apapun itu, bisa. Internet memang bisa menjadi media yang murah meriah dalam upaya memarketingkan sesuatu--apapun itu; yang nggak penting, apalagi yang penting--dengan cepat. Justin Bieber dan Jojo-Shinta udah membuktikan itu.

Tapi lepas dari itu semua, saya mulai terganggu dengan kehebohan Keong Racun. Kenapa?

Pertama, mula-mula saya risih dengan lirik yang ada di lagu itu. Kehebohan pemberitaan Keong Racun itu bikin lagu itu jadi beken. Dan, anak-anak adalah korban yang pertama kali "jatuh" dalam industri kapitalis media yang tak bertanggungjawab itu. Sudah iya saat ini anak-anak Indonesia dalam masa-masa "sekarat" karena nggak punya alternatif hiburan yang edukatif (dalam hal lagu, khususnya). Kehadiran lagu ini menambah keterpurukan kondisi anak-anak karena terpaksa harus berkali-kali mendengarkannya dari teve, dan dari orang dewasa yang mulai menyanyikannya dengan bebas dan terbuka di depan mereka.

So? Dalam masa-masa perkembangan di mana pembelajaran sosial didapatkan sang anak dari mengadopsi tingkah pola orang lain di sekitar mereka, anak segera mengasosiasikan informasi baru, bentuk sikap yang mereka dapat dari orang lain itu.

Terhadap lagu Keong Racun yang "dihebohkan" itu, anak-anak mengalami proses psikologi yang disebut dengan istilah clasical conditioning, yaitu bentuk dasar dari pembelajaran di mana satu stimulus sebenarnya berperan netral. Tapi akan memiliki kapasitas untuk membangkitkan reaksi melalui pemasangan yang berulang-ulang dengan stimulus lain. Anak-anak yang pertama kali mendengar berita soal heboh video--yang kemudian lagunya--Keong Racun nggak akan punya reaksi apapun. Kenapa? Karena keong racun ini masih netral dalam benak dan daya "cerna" reaksi mereka. Tapi karena orang-orang di sekitarnya (keluarga, tetangga, orangtua, teman, atau orang dewasa lainnya) terus-terusan menunjukkan tanda reaksi positif (dengan mulai menyanyikannya), sang anak akan belajar secara bertahap untuk bersikap positif pada lagu Keong Racun dengan turut menyanyikannya.

Apa yang terjadi? Setiap pagi di lingkungan rumah saya selalu terdengar anak-anak berlomba menyanyikan lagu beraliran dangdut koplo tersebut. Nggak sampe di situ deh, di jalan-jalan, di mall, di pasar, di warung, di sekolah, di bis, adaaa saja anak yang saya temui sedang asyik mendendangkan lagu itu. Hufff... Khawatir tingkat tinggi... Kalo orang dewasa yang nyanyi sih udah nggak heran dah, semua kayak emang udah tersihir dengan lagu itu dan seperti wajib untuk menyanyikannya biar ikut trend kali ya.

Yang lucu, karena kampus saya berada satu langit, satu pagar, dengan salah satu sekolah anak-anak elit yang berduit dan bermobil di Jakarta (baca: labschool rawamangun), saya kok masih juga nemuin anak-anak orang kaya itu nyanyi lagu Keong Racun yang kata teman saya sih lagu pinggiran (saya nggak tahu lagu tengahan atau pinggiran itu kayak gimana sebenarnya). Lucu aja, anak-anak itu rame-rame dan seakan berlomba-lomba menghafal lirik lagu itu ~tersenyum getir: *miristingkattinggi*

Itu alasan pertama.

Alasan kedua yang bikin saya kontra dengan "dihebohkannya" si Keong Beracun itu adalah karena saya jadi ikutan dibuat ribet dengan lirik lagunya.

Bukan, bukan... Bukan karena saya lagi mencoba menghafal lagu itu. Tapi justru ini datangnya dari murid-murid saya. Kemarin, setelah saya dibuat melongo dengan jawaban Haykal soal belajar bahasa Inggris, tiba-tiba dia tanya pada saya; "Bu, emang keong racun itu apa sih?"

Saya jawab; "keong yang berbahaya karena dia punya racun. Kayak ular yang punya bisa. Kalau bisa itu tertular pada manusia, manusia bisa meninggal karenanya."

Haykal tanya lagi; "Memang kalau keong racun itu kalo ngomong nggak pakai sopan santun ya? Dia binatang nakal ya?"

Saya yang mulai ngeh kalo sebenernya Haykal lagi mempertanyakan isi dari lirik lagu Keong Racun itu langsung jawab; "Ya" dengan singkat saja.

Dan, Haykal pun kembali bertanya; "Bu, emang kenapa sih kalau kita dianggap ayam kampung? Ayam kampung itu artinya kayak anjing babi gitu ya? Tapi kan ayam kampung nggak najis, terus ayam kampung juga baik, dia bisa dipelihara, dan aku suka ayam goreng. Upin Ipin aja suka ayam guring, hehehe..."

Waduh.... saya sempat mikir-mikir untuk menjawab pertanyaan ini. Sebenernya apa hubungannya ya ayam kampung dengan lagu keong racun (awalnya saya nggak tahu kalo kata-kata ayam kampung ada juga dalam lirik lagu itu, hehehe). Lama berpikir, saya cuma bilang, "hm, ayam kampung nggak najis kok. Pokoknya enak dibuat ayam guring kesukaan Ipin Upin, hehehe"

Meski nggak puas dengan jawaban saya (saya tahu ini karena si Haykal pake mendengus dan menghela nafas panjang setelah saya menjawab begitu, mungkin dia pikir kok jawabannya gitu doang), Haykal akhirnya bisa diam juga. Dia nggak tanya-tanya lagi.

Hari itu mungkin saya selamat. Tapi hari berikutnya saya terjebak pada pertanyaan serupa (tentang lirik Keong Racun) dari Enggar, murid privat saya yang lain. Sepanjang les hari itu, ia terus mengerjakan tugas-tugas yang saya berikan dengan bersenandung lagu itu, sambil sesekali mempraktikkan gaya Jojo Shinta. Asli, walau Enggar nggak kalah lucu dari Haykal, meski saya hampir pengen ketawa lihat aksinya, toh saya tetap jijay dengar dia nyanyi-nyanyi pake gaya lengkap begitu segala. Karena dia bocah laki-laki yang juga belum genap enam tahun.

Coba, anak sekecil itu tahu apa tentang bodi semok yang dia nyanyikan, tahu apa tentang jablay, kucai? Arrrgh....!!!! Saya berkali-kali menyuruhnya untuk berhenti menyanyikan lagu itu, tapi Enggar tetap bernyanyi (walaupun sebentar-sebentar dia berhenti karena saya mulai galak).

Ketika dia benar-benar berhenti, saya sebenarnya bersyukur. Tapi itu tidak lama karena Enggar kemudian bertanya; "Bu, emang kalo baru kenal kita nggak boleh ngajak tidur orang ya? Memang kenapa?"

Saya: "Karena... hm... gini... anu, Nggar... Hm, gimana ya ibu jelasin.. bla-bla-bla-bla.. zzztt pssst #@!#%*+!-%#~...."

Asli, saya yakin banget muka saya langsung pucat pasi karena sepertinya saya jadi demam tersengat racun si keong (Keong Jojo dan Shinta itu benar-benar beracun!!!)

Sumber gambar: http://img56.imageshack.us/img56/9693/keongemasbywinrymarinilk8.jpg

Rawamangun, di sela-sela mentok cari teori buat tambahan kajian teori

Tidak ada komentar:

Posting Komentar